Pelabuhan Hati
|
Senin, 04 April 2016
|
Fiksi
|
Assalamu'alaikum, ohaiiyo gozaimasu redearsss, ogenki desu ka?? Semoga selalu dalam mahabbahnya Allah yaa. Well, hari ini aku mau berbagi satu cerpen, yang sebenarnya udah lama banget ngendap di note book Hp miniku. Selain itu, aku juga udah janji sama The Ukhties untuk ngepost ni cerpen, karna satu dan lain hal aku baru sempat ngepostnya hari ini, gomenne My beloved ukhties. Okk let's cekidot!!!
Pelabuhan Hati
H A T I, mereka juga
sering menyebutnya dengan liver. Ia
merupakan kelenjar besar berwarna merah gelap yang berfungsi sebagai tempat
penyimpanan dan filtrasi darah, tempat mengubah gula menjadi glikogen, dan
pabrik bagi segudang aktivitas metabolik penunjang tubuh lainnya. Ia terletak
pada bagian atas perut sebelah kanan, atau dalam dunia medis ia dikenal berada
pada kuadran I abdomen.
Namun, yang ingin kuceritakan disini bukanlah hati secara
anatomis dan fisiologis seperti diatas. Organ unik ini memiliki makna lain, tak
hanya sebatas bongkahan daging penyusun tubuh manusia, ia juga diartikan
sebagai naluri atau sanubari, yang erat kaitannya dengan alam perasaan, emosi, cinta
dan kasih sayang.
Cerita ini kuawali dengan untaian doa bagi mereka yang selama
ini senantiasa memberi cahaya-cahaya cinta kehidupan bagiku. Berkat merekalah
aku bisa survive sampai pada detik
ini, hingga saat jari-jemariku menari di atas tust keyboard laptop, aku masih
mampu berdiri dan terus melangkah dalam remangnya kehidupan dunia. Tak terlupa
bagi “dia dan dia”, yang berkat merekalah aku mampu menyadari betapa hati ini
ingin selalu didengar dan dibersihkan dari noktah-noktah yang tak seharusnya
berada disana, dari butiran-butiran yang tak sepantasnya melekat dan dari
benih-benih yang belum waktunya untuk tumbuh.
#####
“Dia mirip Evan Sanders, yaa”.
Kalimat itu terlontar begitu saja dari mulutku. Seketika itu
juga suara tawa teman-temanku meledak, menggelegar dan menggetarkan ruang kelas
kami.
“Cieeee, cieeeee, ada yang lagi kasmaran ni yeee”
Semburat merah segera merona di pipiku, wajahku terasa panas
dan memerah, bak kepiting yang baru direbus. Sontak aku mencak-mencak.
“Yeeeee, ga kok, aku kan cuma sedang memuji salah satu ciptaan
Tuhan, emang ga boleh?”
“Cieeee, cieeeee”. Mereka malah semakin menjadi-jadi
menggodaku.
Aku merasa respon mereka agak berlebihan, padahal mereka juga
sering ngegosipin cowok, tapi ga pernah diledekin, hu hu hu. Mungkin mereka
juga merasa shock, itu kali
pertamanya aku memuji dan ngomongin cowok. J
#####
Aku tersenyum sendiri di kamar kosku. Adegan diatas
berlangsung kurang lebih delapan tahun yang lalu, ketika aku masih duduk di
kelas 2 SMP. Yaaa, benar, cinta monyet ala anak ABG. Namun sekarang, aku bukan
anak baru gede lagi. Aku telah tumbuh menjadi seorang gadis muda yang tengah
menempuh semester akhir di sebuah perguruan tinggi negeri di Aceh.
Hingga detik ini kejadian diatas masih sangat segar
diingatanku. Aku juga tidak mengerti dari mana rasa suka itu tumbuh. Cowok itu kakak
kelasku ketika di SMP, dan dia juga tetanggaku. Rumahnya hanya selang 2 rumah
dari rumahku. Aku mengenalnya sejak kelas 5 SD, namun kami sama sekali tidak
pernah berbicara, hanya sesekali sekedar bertegur sapa jika berpapasan di
jalan. Aneh bukan?? Aku bisa suka dengan orang yang bahkan tidak pernah
bercakap cakap denganku. Hummmpph.
Keanehan itu tetap berlanjut hingga aku menapaki tangga
pendidikan yang lebih tinggi. Di SMA aku juga mulai mengagumi dan menyukai
kakak kelasku. Alasannya simple, karena
wajahnya mirip dengan kakak kelas yang kutaksir ketika di SMP dulu, si
tetangaku itu. Duuuuh, betapa bodohnya aku. Poin plus lainnya yang membuatku
suka dengan yang satu ini adalah karena dia ketua BKKM (Badan Kemakmuran dan
Kesekretaritan Mushala) di SMA ku, anak rohis lho.
#####
“ALLAHU AKBAR ALLAHU AKBAR”
“ALLAHU AKBAR ALLAHU AKBAR”
“ASYHADU ALLA ILAHA ILLALLAH”
“WA ASYHADU ANNA MUHAMMADARRASULULLAH”
Alunan azan zuhur itu terasa berbeda dari hari-hari kemarin.
Setiap alunan dan tarikan suara muazinnya seakan membuat darahku berdesir. #kok
tiba2 puitis ya, haha.
Yaaa, Anda benaaarrrr.
Muazin yang sedang mengumandangkan azan itu tak lain dan tak
bukan adalah si kakak kelas. Di SMA ku, setiap zuhur sebelum break untuk ISHOMA, akan selalu ada lantunan azan
oleh siswa laki-laki, yang telah ditentukan gilirannya berdasarkan jadwal
piket. Hari itu giliran si kakak kelas yang piket menjadi muazin.
“Eheeeem, ada yang senyum-senyum sendiri nih”, goda teman
sebangkuku.
“Enggaaaakkk, senyum sama soal ini kok”, elak ku.
“Halaaaaah, ngeles ajaa. Pipimu mengatakan segalanya,”
imbuhnya.
“Nil, jangan cuma ngebayangin wajah yang lagi azan, jawab juga
seruan azannya, biar sekalian dapat bonus pahala, haha”, teman yang duduk di depan
juga ikut-ikutan menggodaku.
######
Yaa, itu sekilas cerita cinta-cintaan yang pernah kurasakan.
Sangat simpel sekali. Hanya sekedar rasa suka dan kagum. Hanya sebatas melihat
dari jauh, tanpa pernah bercakap-cakap, tanpa pernah melakonkan adegan tembak-menembak
atau jadian ala anak muda jaman sekarang. Aku tidak pernah menyentuh dunia yang
bernama pacaran, dari jaman aku bersekolah hingga detik ini.
Hari gini ga pacaran?? Kemana aja loe?? Kuno banget sih, ga
gaul. Memang. Itulah doktrin yang tertancap di kepala muda-mudi sekarang ini,
termasuk teman-teman di sekelilingku. Namun itu tidak berlaku bagiku. Aku
bersyukur menjadi salah satu dari orang-orang yang berani memilih jalan yang
berbeda dalam mengarungi usia muda ini. Masa muda tanpa pacaran, suatu hal yang
aku syukuri dan banggakan.
Aku bersyukur, dibalik rasa suka yang tak terungkapkan itu,
Allah menjagaku dari hal-hal yang mungkin dapat menyakitiku. Lewat rasa suka
yang kupendam, tanpa pernah mengungkapkannya kepada orang yang bersangkutan,
Allah menjagaku dari hal-hal yang mungkin akan menguras energi, materi, air
mata, dan bahkan akan mereduksi kadar cintaku kepada-Nya. Aku yakin akan hal
itu.
#####
Hari ini, Jum’at, tanggal 24 November 2010, tepatnya pukul
12.30 ponselku berdering. Aku yang saat itu tengah berselonjor di mushala
sambil mendengarkan materi kajian Islam Jumatan sontak kaget, dan buru-buru
merogoh kantong jas almamaterku. Begitu melihat nama yang tertera pada
layarnya, aku mengerutkan dahi, “tumben” gumamku dalam hati.
Segera kuangkat panggilan itu. Aku serasa membeku seketika
begitu mendengar kabar yang disampaikan oleh orang di ujung telpon sana. Aliran
darahku seolah berhenti berdesir, jantungku seakan berhenti berdetak. Penelpon
tersebut adalah salah satu teman SMA-ku. Kabar yang disampaikannya detik itu
bagaikan petir disiang hari. Kututup telpon dan kujawab salamnya dengan lemas.
Aku yang saat itu tengah berada di salah satu sudut kota Bireun, untuk
melaksanakan BAKSOS tahunan kampusku, seolah merasa melayang, pandanganku kabur
dan buram. Tak terasa bulir-bulir hangat mulai mengalir di pipiku, kuseka
dengan tergesa, tak mau teman-teman yang lain melihatku.
Innalillahi wa innailahi raji’un. Hanya kalimat itu yang
sanggup melompat keluar dari bibirku. Sontak teman yang disamping segera
menoleh ke arahku. “Ada yang meninggal? siapa? kapan?”, tanya nya. “Kakak kelas
SMA-ku dulu”, hanya itu yang mampu kuwajab.
Si ketua BBKM-ku telah dipanggil menghadapNya diusia yang
masih sangat muda. Kawan yang menelfonku tadi mengabarkan kalau dia kecelakaan
sepeda motor saat menuju ke kampus dan tidak dapat ditolong lagi. Ada perasaan
aneh yang berkecamuk di dalam dadaku, perasaan bersalah dan hampa. Aku tahu mungkin
baginya aku bukan siapa-siapa. Tapi bagiku, dia salah satu motivation items selama menjalani masa masa SMA dulu. Karena ada
dia aku bersemangat menghafal teks english
speech ku, karena ingin melihat wajahnya dari jauh, aku sengaja mengambil
jalan memutar ke kelasku, karena dia ketua BKKM mushala sekolah, aku jadi rajin
shalat berjama’ah ke mushola. Memori itu terus berkeliaran di benakku, flashback masa-masa SMA berhasil membuat mataku menjadi
keran air yang mengucur deras.
Hari ini, aku hanya dapat mendo’akannya, semoga Allah menerima
amal-amal ibadahnya selama ini. Semoga Allah menempatkannya di tempat terbaik
dari sebaik-baik tempat di sisiNya. Aku percaya, seseorang yang di panggilNya
pada hari Jum’at, In Sya Allah akan mendapat banyak keberkahan, Jum’at Mubarak,
aamiin.
######
Hari ini aku sibuk mempacking
barang-barangku. Yaa, aku mau pulang kampung, menghabiskan liburan Idul
Fitri bersama keluarga tercinta. Aku baru menyelesaikan ujian akhir skripsiku.
Ada perasaan lega dan plong membuncah di dada. Aku telah menyelesaikan satu
tahapan pendidikanku. Yaaa, walaupun aku belum disumpah sebagai sarjana, at least ada satu beban yang sudah terangkat
dari pundakku, dan tak lama lagi dibelakang namaku akan bertengger gelar S.
Kep, Alhamdulillah.
Tahun ini tidak seperti tahun-tahun kemarin, aku agak telat
pulang ke kampung, karena harus menyelesaikan segala urusan menyangkut skripsi.
Aku baru bisa pulang pada 27 Ramadhan, namun aku tetap bersyukur akan hal itu.
Walaupun telat, toh aku tetap bisa menyantap daging rendang dan merayakan Idul
Fitri bersama keluarga.
######
Matahari bersinar cerah, aku menggeliat di dalam mobil L300
yang kutumpangi. Badanku terasa pegal dan kaku semua. Walaupun sudah sering
bolak-balik Banda Aceh-Tapaktuan, tetap saja aku belum terbiasa. Yahhh,
bayangkan saja, harus duduk di kursi mobil selama 12 jam, tanpa bisa
benar-benar meluruskan tubuh dan memejamkan mata menuju mode REM of slep. Siapa pun juga tidak akan
pernah merasa nyaman dan terbiasa.
Jarum jam yang melingkar di pergelangan tanganku, berada di
posisi 8 dan 6. Humpphh, aku mendengus pelan, prediksiku semalam melenceng. Aku
berharap akan tiba di rumah jam setengah delapan pagi, karena tadi malam kami
berangkat lebih cepat. Sekarang sudah lebih satu jam dari perkiraanku. Aku
sudah tidak tahan lagi, ingin rasanya aku melompat keluar dan berlari ke rumah,
tapi mana mungkin.
Aku merogoh kantong jaketku, tapi yang kutemukan hanya
Handphone yang sudah tak berdaya lagi. Salahku sendiri memang, semalaman aku
mendengarkan musik tanpa memberinya jeda untuk istirahat, jadi wajar saja pagi
ini, dia sudah tak berdaya lagi untuk menyapaku. Kukembalikan handphone ke
dalam kantong jaket. Bosannn. Aku menggurutu dalam hati. Sekarang kami baru
tiba di kecamatan Meukek, dan itu artinya aku masih harus bersabar di dalam
mobil ini sekitar 1 jam lagi. Kusenderkan kepala ke jendela yang kubiarkan
sedikit terbuka, menerawang ke luar, ke arah pepohonan yang seakan berjalan
meninggalkan kami. Angin pagi membelai pipiku, hawa dingin dan segar membuat mataku
mulai tertutup lagi, hasilnya aku tertidur kembali.
“Nilaaaaa, udah mau nyampe rumah niiiii”, teriakan sopir mobil
itu berhasil mengembalikanku ke dunia nyata. Aku mengucek mata yang masih
terasa sangat berat, kupandangi sekitar dan kusadari kami sedang berada di
turunan gang menuju rumahku. Kesadaranku langsung kembali seutuhnya, kurogoh
dompet dari dalam tas ransel yang penuh sesak. Dua lembar uang seratus ribuan, ku
paksa keluar dari persembunyiannya. Begitu mobil berhenti tepat di depan sebuah
pintu pagar hitam, aku bergegas turun dan berteriak memanggil ibuku. Bapak
sopir hanya senyum dan geleng-geleng kepala mendengar teriakan cemprengku, sambil
menurunkan barang bawaan dari bagasi mobil. Aku yakin dia sudah sangat hafal
dengan tingkahku. Segera kusodorkan uang padanya, dan menerima kembalian satu
lembar uang lima puluh ribuan. Aku langsung menyalami, memeluk dan mencium ibuku,
tak kupedulikan lagi sopir yang mengucapkan salam dan beranjak pergi dari
halaman rumah. Aku tengah diselimuti rasa lega karena dapat bersua kembali
dengan orang-orang yang kurindui.
Ibu membantu membawakan tas-tas dan barangku ke dalam rumah.
Rumah sepi, tak kutemukan ayah dan kakak. Wajar saja, kakakku jelas sedang
berada di kantornya, dan ayahku, paling beliau sedang ke pasar atau nongkrong
dengan teman temannya, maklumlah ayah yang telah lama menjabat sebagai
pensiunan, tak lagi punya rutinitas harian yang mengikat layaknya ketika masih
bekerja dulu.
Kulepaskan jilbab, dan jaket, segera kususul Ibu ke dapur. Ibu
sedang sibuk dengan ampia, loyang dan cetakan kue lainnya. Ibu tersenyum penuh
arti kepadaku, sambil berseloroh santai, “hari ini adek istirahat yang puas aja
dulu, besok kita akan berjuang bersama”. Neurotransmiter
di otakku segera menyampaikan sinyal bahwa sepertinya besok akan terjadi
pertempuran seru antara kami dan adonan adonan kue hari raya. Sudah menjadi
kebiasaan Ibuku untuk selalu membuat kue lebaran dengan tangannya sendiri, dan
yang pasti aku sebagai kaki tangannya.
Matahari sudah bergeser sedikit ke barat saat kesadaranku
kembali. Ternyata tadi pagi setelah berbincang sebentar dengan Ibu dan mandi,
aku langsung terkapar tak sadarkan diri, bahkan aku tak sempat membantu Ibu
membereskan dapur dan alat-alat pembuat kuenya. Kulirik benda bulat berlatar
helokitty yang tergantung di dinding kamar, sudah setengah jam berlalu dari
waktu zuhur. Dengan sempoyongan kupakasakan diri memasuki kamar mandi, walaupun
mata ini masih sangat berat, aku harus melawannya, aku harus bertemu Rabbku
dulu.
Perasaan lega dan nyaman menyelubungi seusai komunikasi
pribadiku dengan Allah. Aku melangkahkan kaki menuju ruang tengah, namun mataku
menangkap sesuatu yang asing dan cantik di atas meja tamu. Segera kudekati meja
tersebut dan kudapati sebuah undangan berbahan dasar kertas hard cover berwarna coklat tua
,bersampul plastik bening dan berpita putih gading. Kuraih undangan itu, dan
kubuka sampul plastiknya dengan perlahan. Mataku menari di atasnya, mencerna
satu persatu kata dan gambar yang terpatri disana. “Barakallahulakuma”, ujarku
lirih. Kertas cantik yang ada di tanganku saat ini, tak lain dan tak bukan
adalah undangan walimahan kakak kelas yang pernah kutaksir ketika SMP dan juga
merupakan tetanggaku. Kueja ulang namanya dan nama kedua orang tuanya. Yaa,
benar, itu dia, batinku. Kuperhatikan foto yang terlukis di sana, yaa, benar,
itu dia, desisku. Ada perasaan yang tidak tentu bermain-main di hatiku. Cinta
monyet pertamaku, kini sudah akan bersanding dengan orang lain. Kuperhatikan
sekali lagi foto pra wedding diundangan
tersebut. Terdapat gambar seorang pemuda usia dua puluhan dan wanita yang juga
seusia itu, dan seorang bayi kecil. Aku mengenyirtkan dahi, mencoba mereka-reka
siapa gerangan anak bayi ini. Tidak seperti undangan walimahan biasanya,yang
hanya ada foto mempelai pria dan wanitanya. Undangan yang satu ini, seperti ada
tambahan anggota yang seharusnya belum ada.
“Adeeeek, gebetanmu udah digaet orang duluan tuh, hahahaha”,
ledekan kakakku berhasil memecahkan konsentrasi tingkat tinggiku. Huffft. “Apa
an sih kaaaakkkk”, gerutuku. Aku berjalan meyusul kakakku ke ruang tengah
sambil terus memegang dan mengamati undangan coklat cantik itu. Ibu tersenyum
melihat raut mukaku yang penuh tanda tanya, dan tanpa kuminta Ibu langsung
menjelaskan, “ Si Rezi, anak Pak Is, nikahnya udah duluan kemarin itu, yang di
undangan itu resepsinya aja”. Melihatku yang masih terbengong dan tidak
mengerti Ibu kembali menjelaskan, “mereka udah duluan dapat kejadian, baru
nikah”. “MBA” desis kakakku tepat di telingaku. Seketika itu juga, aku baru
sadar dan mengerti. Jadi anak kecil yang di undangan itu, anak mereka. Jadii???
“Ooohh” hanya itu yang terlontar dari mulutku. “Adek istirahat aja lagi, jam 3
an nanti baru kita masak untuk takjil” seloroh ibu ku sambil mengatur posisi
tidur siangnya. Ayahku sudah duluan menuju alam mimpinya, sedangkan kakakku
sudah kembali ke kamarnya. Memang sudah menjadi kebiasaan keluargaku, saat bulan
puasa, setelah shalat zuhur biasanya kami akan istirahat sebentar, dan baru
akan mulai masak untuk makanan berbuka puasa sekitar jam 3 sore. Akupun
beranjak kembali ke kamar. Kembali kutatap undangan coklat yang masih berada di
tanganku, seulas senyum tiba-tiba terukir di bibirku. Entah mengapa, sebersit
rasa syukur mencuat ke permukaan hati tanpa bisa kucegah. Terimakasih Rabbi
atas penjagaanmu. Mungkin ini cara Allah menjaga hatiku dari noktah-noktah yang
tak seharusnya berada disana, dari butiran-butiran yang tak sepantasnya melekat
dan dari benih-benih yang belum waktunya untuk tumbuh. Aku bersyukur, dibalik rasa
suka yang pernah tak terungkapkan itu, Allah menjagaku dari hal-hal yang dapat
menyakitiku. Lewat rasa suka yang kupendam, tanpa pernah mengungkapkannya,
Allah menjagaku dari hal-hal yang akan menguras energi, materi, air mata, dan
bahkan akan mereduksi kadar cintaku kepada-Nya. Aku yakin akan hal itu.
Terimakasih Rabbi atas cintaMu yang senantiasa menjadi pelabuhan hatiku hingga
detik ini. Alhamdulillah.
edit